
Sekolah gratis ini untuk masyarakat adalah suatu anugerah. Seseorang bagaikan mendapatkan buah segar di musim kemarau, saat rasa haus dan lapar. Demikian juga sekolah gratis menyegarkan anggaran masyarakat yang memang kekurangan dana untuk pendidikan putra-putrinya. Tetapi bagi masyarakat yang tergolong mampu, sekolah gratis ini bagaikan memberikan garam di air laut. Bagi golongan pendidik dan sekolah, kebijakan ini adalah sesuatu yang sudah lama dinanti-nantikan supaya menjadi suatu kenyataan. Sebagai pendidik, tidak perlu bersusah payah memikirkan bagaimana cara menggali dana dari orang tua siswa dan masyarakat untuk kemajuan dan peningkatan prestasi siswa maupun sekolah.
Dengan sekolah gratis, pihak sekolah dan guru sudah tidak lagi dipusingkan oleh siswa yang belum membayar sekolah ataupun belum membayar uang pengembangan institusi, sehingga perhatian guru sebagai pendidik hanya terkonsentrasi pada bagaimana cara mengajar dan bagaimana menyusun strategi untuk meningkatkan kualitas prima bagi siswanya.
Bagai Simalakama
Tapi sayang, gagasan itu hanyalah buah simalakama yang tidak bisa dimakan, tapi hanya dikulum saja. Dikulum supaya bapak dan ibu tidak mati. Kebijakan sekolah gratis menimbulkan berbagai permasalahan baru. Di antaranya permasalahannya adalah terpecahnya persepsi masyarakat. Sebagian besar menerima mentah-mentah berita ataupun pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik dengan garis bawah bahwa sekolah gratis ya semuanya gratis. Dalam hal ini, tanpa memikirkan bahwa anggaran sekolah gratis adalah tercukupinya kebutuhan minimal sekolah. Bahkan, sebagian kecil masyarakat ada yang menganggap bahwa sekolah gratis yang tis tanpa mengeluarkan biaya apapun tidak bisa meningkatkan prestasi sekolah dan putra–putrinya. Ada istilah Jawa, Jer Basuki Mawa Bea yang dapat diartikan “jika mau berhasil ya harus mengeluarkan biaya”.
Persepsi masyarakat semuanya benar, karena dalam berita dan pemberitaan di media cetak maupun elektronik jarang sekali menyebutkan bahwa sekolah gratis hanyalah gratis dalam pembiayaan minimal sekolah. Di sisi lain bahwa pendapat pendidikan yang berkualitas mahal harganya juga benar adanya.
Permasalahan yang lain adalah sekolah sebagai ujung tombak pendidikan dan unit pelaksana teknis harus dan mau melayani serta memenuhi kebutuhan pendidikan di sekolah masing-masing seperti sebelumnya. Padahal kebijakan sekolah gratis, dana yang diberikan adalah dana kebutuhan minimal, sehingga segala kebutuhan harus dihitung dan dicukupi dari dana tersebut. Bagi sekolah yang biasanya membutuhkan dana yang lebih besar dari dana minimal, maka hal ini terasa sebagai suatu kemunduran. Pelayanan yang membutuhkan dana besar akan terhambat. Di sisi lain, akan menarik iuran untuk mencukupi kebutuhan jelas tidak diperbolehkan.
Tetapi sebagai barisan terdepan dari pendidikan, apapun alasannya harus “siap grak” melaksanakan semua kebijakan. Biarpun harus mengulum buah simalakama. Artinya jika sekolah tidak melayani dengan sebaik-baiknya, maka akan timbul gejolak. Tetapi jika sekolah akan melayani dengan sebaik-baiknya, membutuhkan dana yang banyak dan dana itu dari siapa ? Padahal yang diberikan hanyalah dana kebutuhan minimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi dan saling keterbukaan antara pembuat kebijakan, sekolah dan masyarakat. Hal inilah yang mengakibatkan terjadi salah komunikasi dan salah persepsi.
Perlu Keterbukaan
Supaya kebijakan sekolah gratis ini terlaksana dengan baik, hendaknya diperlukan saling keterbukaan antara pembuat kebijakan, sekolah dan masyarakat. Sehingga perlu adanya langkah-langkah bersama dalam usaha menyukseskan kebijakan sekolah gratis ini. Sebagai pembuat kebijakan, hendaknya mau menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat baik melalui media cetak, media elektronik maupun petugas-petugas di masyarakat bahwa kebijakan sekolah gratis adalah gratis untuk kebutuhan minimal sekolah. Dan sekolah masih membutuhkan dana-dana lain untuk mendukung pelaksanaan pendidikan. Dimana dana tersebut berasal dari orang tua siswa dan masyarakat, sehingga masyarakat tidak hanya menelan mentah-mentah informasi sekolah gratis adalah gratis semuanya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan terdepan hendaknya mau lila legawa melaksanakan kebijakan sekolah gratis. Belajar dan berusaha mengolah apa yang didapat menjadi sesuatu yang berharga dan tetap mampu melaksanakan pembelajaran yang berkualitas. Memang sangatlah tidak mudah melaksanakan hal ini. Dengan sedikit mengurangi beberapa titik yang tidak perlu sekali maka mungkin kebutuhan akan tercukupi, tetapi akan muncul kembali pertanyaan Jer Basuki Mawa Bea.
Dari pertanyaan ini, hanyalah keterbukaan orang tua siswa dan masyarakatlah yang bisa menjawab. Akan dibawa kemana putra-putrinya dalam pendidikan sekolah gratis. Orang tua siswa dan masyarakat hendaklah lebih peka menganalisa dan menentukan serta ikut terlibat dalam memajukan prestasi pendidikan putra-putrinya. Mutu siswa juga bergantung pada orang tua siswa dan masyarakat.
Orang tua siswa dan masyarakat yang peduli serta mampu, hendaknya mau ikut serta memikirkan pendanaan bagi pendidikan putra-putrinya. Bagi orang tua siswa dan masyarakat yang tidak mampu gratislah, jawabannya. Setelah terlaksana semuanya, apapun hasilnya nanti, evaluasi kebijakan untuk sekolah gratis perlu dilakukan baik di tingkat pembuat kebijakan, sekolah maupun masyarakat.
Dengan sekolah gratis, pihak sekolah dan guru sudah tidak lagi dipusingkan oleh siswa yang belum membayar sekolah ataupun belum membayar uang pengembangan institusi, sehingga perhatian guru sebagai pendidik hanya terkonsentrasi pada bagaimana cara mengajar dan bagaimana menyusun strategi untuk meningkatkan kualitas prima bagi siswanya.
Bagai Simalakama
Tapi sayang, gagasan itu hanyalah buah simalakama yang tidak bisa dimakan, tapi hanya dikulum saja. Dikulum supaya bapak dan ibu tidak mati. Kebijakan sekolah gratis menimbulkan berbagai permasalahan baru. Di antaranya permasalahannya adalah terpecahnya persepsi masyarakat. Sebagian besar menerima mentah-mentah berita ataupun pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik dengan garis bawah bahwa sekolah gratis ya semuanya gratis. Dalam hal ini, tanpa memikirkan bahwa anggaran sekolah gratis adalah tercukupinya kebutuhan minimal sekolah. Bahkan, sebagian kecil masyarakat ada yang menganggap bahwa sekolah gratis yang tis tanpa mengeluarkan biaya apapun tidak bisa meningkatkan prestasi sekolah dan putra–putrinya. Ada istilah Jawa, Jer Basuki Mawa Bea yang dapat diartikan “jika mau berhasil ya harus mengeluarkan biaya”.
Persepsi masyarakat semuanya benar, karena dalam berita dan pemberitaan di media cetak maupun elektronik jarang sekali menyebutkan bahwa sekolah gratis hanyalah gratis dalam pembiayaan minimal sekolah. Di sisi lain bahwa pendapat pendidikan yang berkualitas mahal harganya juga benar adanya.
Permasalahan yang lain adalah sekolah sebagai ujung tombak pendidikan dan unit pelaksana teknis harus dan mau melayani serta memenuhi kebutuhan pendidikan di sekolah masing-masing seperti sebelumnya. Padahal kebijakan sekolah gratis, dana yang diberikan adalah dana kebutuhan minimal, sehingga segala kebutuhan harus dihitung dan dicukupi dari dana tersebut. Bagi sekolah yang biasanya membutuhkan dana yang lebih besar dari dana minimal, maka hal ini terasa sebagai suatu kemunduran. Pelayanan yang membutuhkan dana besar akan terhambat. Di sisi lain, akan menarik iuran untuk mencukupi kebutuhan jelas tidak diperbolehkan.
Tetapi sebagai barisan terdepan dari pendidikan, apapun alasannya harus “siap grak” melaksanakan semua kebijakan. Biarpun harus mengulum buah simalakama. Artinya jika sekolah tidak melayani dengan sebaik-baiknya, maka akan timbul gejolak. Tetapi jika sekolah akan melayani dengan sebaik-baiknya, membutuhkan dana yang banyak dan dana itu dari siapa ? Padahal yang diberikan hanyalah dana kebutuhan minimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi dan saling keterbukaan antara pembuat kebijakan, sekolah dan masyarakat. Hal inilah yang mengakibatkan terjadi salah komunikasi dan salah persepsi.
Perlu Keterbukaan
Supaya kebijakan sekolah gratis ini terlaksana dengan baik, hendaknya diperlukan saling keterbukaan antara pembuat kebijakan, sekolah dan masyarakat. Sehingga perlu adanya langkah-langkah bersama dalam usaha menyukseskan kebijakan sekolah gratis ini. Sebagai pembuat kebijakan, hendaknya mau menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat baik melalui media cetak, media elektronik maupun petugas-petugas di masyarakat bahwa kebijakan sekolah gratis adalah gratis untuk kebutuhan minimal sekolah. Dan sekolah masih membutuhkan dana-dana lain untuk mendukung pelaksanaan pendidikan. Dimana dana tersebut berasal dari orang tua siswa dan masyarakat, sehingga masyarakat tidak hanya menelan mentah-mentah informasi sekolah gratis adalah gratis semuanya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan terdepan hendaknya mau lila legawa melaksanakan kebijakan sekolah gratis. Belajar dan berusaha mengolah apa yang didapat menjadi sesuatu yang berharga dan tetap mampu melaksanakan pembelajaran yang berkualitas. Memang sangatlah tidak mudah melaksanakan hal ini. Dengan sedikit mengurangi beberapa titik yang tidak perlu sekali maka mungkin kebutuhan akan tercukupi, tetapi akan muncul kembali pertanyaan Jer Basuki Mawa Bea.
Dari pertanyaan ini, hanyalah keterbukaan orang tua siswa dan masyarakatlah yang bisa menjawab. Akan dibawa kemana putra-putrinya dalam pendidikan sekolah gratis. Orang tua siswa dan masyarakat hendaklah lebih peka menganalisa dan menentukan serta ikut terlibat dalam memajukan prestasi pendidikan putra-putrinya. Mutu siswa juga bergantung pada orang tua siswa dan masyarakat.
Orang tua siswa dan masyarakat yang peduli serta mampu, hendaknya mau ikut serta memikirkan pendanaan bagi pendidikan putra-putrinya. Bagi orang tua siswa dan masyarakat yang tidak mampu gratislah, jawabannya. Setelah terlaksana semuanya, apapun hasilnya nanti, evaluasi kebijakan untuk sekolah gratis perlu dilakukan baik di tingkat pembuat kebijakan, sekolah maupun masyarakat.
Oleh :
Yustinus Tri Warsanto
Guru Matematika
SMP 30 Semarang
0 komentar
Posting Komentar